Senin, 09 Maret 2015

Charlie hebdo vs chapel hill (ham)

3.       Charlie hebdo vs chapel hill (ham)
-          Bagaimana media memberitakan?
Tiga orang warga Muslim Amerika Serikat ditembak mati di lingkungan tempat tinggalnya di Capel Hill, North Carolina pada 11 Februari 2014.

Ketiga orang itu adalah Deah Shaddy Barakat, istrinya Yusor Mohammad Abu-Salha, 21 tahun, dan adiknya Razan Mohammad Abu-Salha, 19 tahun.

Media Amerika Serikat tampak tenang dengan kejadian penembakan pada para mahasiswa dan karyawan Muslim ini. Bahkan tidak ada breaking news atas penembakan bernuansa islamophobia ini. Pemberitaan yang muncul hanya seadanya, berbeda dengan peristiwa penembakan Charlie Hebdo bulan lalu di Paris Perancis.

Sang penembak merupakan seorang penganut paham atheis yang kerap menghina praktik keagamaan di akun media sosialnya. Ia bernama Craig Stephen Hicks, berusia 46 tahun.

Ketika terjadi penembakan Charlie Hebdo yang dipicu pelecehan majalah satir tersebut, dan bernuansa agama, banyak yang mengecam pelaku penembakan yakni Kouachi Bersaudara. Mereka yang mengutuk Kouachi bersaudara tidak hanya orang kafir, tetapi juga orang-orang Islam.

Kini, mereka yang dulu mengutuk Kouachi Bersaudara, hanya diam mendengar peristiwa penembakan 3 penganut Muslim Amerika Serikat itu. Seakan tidak peduli bahwa ketiga korban itu adalah orang Islam.

-          Analisa dari keudanya
Prancis punya warisan besar dalam teori politik dan demokrasi. Yang terkenal ucapan Voltaire (1694-1778), "Saya tidak menyetujui perkataan Anda, tapi saya akan membela hak Anda untuk mengatakannya." Ucapan ini dianggap dasar kebebasan berpendapat. Namun, awak Charlie Hebdomungkin perlu belajar perbedaan antara berpendapat dan bersengaja mengolok-olok.

Filsuf Friedrich Nietzsche pernah lantang mengumandangkan "Tuhan telah mati!" Pendapat itu memang memancing kontroversi, tetapi tidak berujung kekerasan karena disampaikan dalam uraian pemikiran filsafat, bukan penggambaran figur yang menistakan.

Jika di "Barat" dikenal prinsip kebebasan seseorang dibatasi kebebasan orang lain, maka kebebasan berekspresi Charlie Hebdo dibatasi kebebasan umat Islam sedunia menjalankan kepercayaannya tanpa penghinaan.

Terhadap insiden Chapel Hill kita bisa paham kepentingan Pemerintah AS untuk meredamnya menjadi "kecelakaan biasa". Tentu Amerika tidak ingin dicap sebagai lahan subur Islamophobia, apabila framing penembakan tersebut merupakan bentuk ekspresi kebencian terhadap agama diterima sebagai kebenaran. Namun, selayaknya Presiden Obama menyampaikan simpati dan pernyataan duka cita yang serius, setara dengan tragedi kemanusiaan, tanpa melihat latar belakang korbannya. Sikap Pemerintah AS yang cenderung diam malah menyuburkan prasangka adanya "standar ganda Amerika" dalam menyikapi masalah yang berkaitan dengan identitas keagamaan.

Charlie Hebdo secara sadar dan telanjang memproduksi benih-benih kekerasan dan ekstremisme, malah bisa di simpulkan kebebasan radikal berbungkus satire dan kebebasan berpendapat adalah kekerasan itu sendiri. Olok-olok dan penistaan oleh Charlie Hebdo adalah kekerasan terhadap keyakinan umat Islam --dan umat beragama pada umumnya. Dunia rugi besar oleh ngototnya Charlie Hebdo untuk terus melukai keyakinan umat beragama di dunia. Karena itu, artinya Charlie Hebdo selalu memproduksi bom waktu kekerasan setiap saat.

Kekerasan dan serangan yang mengakibatkan korban nyawa manusia tak berdosa layak dikutuk. Tidak boleh ada darah tertumpah oleh kekerasan atas nama apa pun juga. Inilah saat tepat bagi semua pihak untuk memikir ulang konsep kebebasan man


sumber: http://news.fimadani.com/read/2015/02/12/dulu-mengutuk-penembakan-charlie-hebdo-kini-bungkam-pada-penembakan-chapel-hill/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar