Jumat, 22 November 2013

Perencanaan Pembangunan Wilayah Desa

Membangun Kemandirian Desa

Ketahanan konfigurasi besar bangsa dan negara tidak terlepas dari kekuatan dan kemandirian desa. Namun, desa belum sepenuhnya mendapat perhatian yang lebih serius terutama menyangkut otoritas kewenangan mengatur diri sendiri. Desa masih diposisikan sebagai subordinasi kekuasaan yang lebih tinggi. Oleh sebab itu, dari lebih kurang 54.000 desa, baru segelintir desa yang mampu meningkatkan derajat kualitas hidup (quality of life) warganya dalam jangka panjang.

Sebagian besar desa masih tertinggal baik dilihat dari aspek sosial ekonomi, infrastruktur, teknologi bahkan aksesibilitas untuk membangun jati diri desa itu sendiri. Jati diri merupakan personifikasi integritas karakter yang mencirikan nilai, sifat, pandangan, dan sikap. Setidaknya terdapat lima unsur jati diri desa, yakni nilai-nilai religi sebagai sandaran kehidupan, iklim demokrasi dalam mengambil setiap keputusan, hubungan emosional kekerabatan yang erat, sikap kesahajaan dalam menerima perubahan, dan tradisi adat istiadat yang kuat.

Dewasa ini, jati diri desa berhadapan langsung dengan arus transformasi nilai dan mobilitas kapitalisasi materialisme. Apabila jati diri desa terus menerus tergerus oleh infiltrasi kapitalis-materialisme, maka desa akan menjadi ladang komersialisasi yang mengikis makna hakiki sebuah desa. Kehilangan jati diri merupakan malapetaka permanen yang menurunkan derajat nilai kekenyalan sakralisme desa. Dalam kerangka yang lebih besar, kerapuhan totalitas nilai-nilai pedesaan nantinya hanya menghasilkan serpihan-serpihan yang berserakan dan sulit untuk merajutnya kembali. Dengan demikian, manajemen pembangunan desa merupakan prioritas utama dan strategis bagi ketahanan bangsa dan negara dalam jangka panjang.

Manajemen pembangunan
Manajemen pembangunan desa memerlukan empat pilar, yakni kewenangan merencanakan dan mengorganisasi sumber daya desa, menyiapkan sumber pembiayaan pembangunan desa, melakukan optimalisasi sumber daya ekonomi desa, dan menjalankan mekanisme implementasi regulasi desa. Empat pilar tersebut, membutuhkan kepemimpinan desa yang tranformatif dan inovatif guna menyelesaikan kompleksitas beragam problema sosial yang dihadapi desa. Kepemimpinan transformatif menuntut seorang kepala desa berkomitmen kuat membawa perubahan besar desa menjadi desa yang mandiri dan mampu memengaruhi perilaku masyarakat desa menuju pembentukan kultur modern-partisipatif.

Pada umumnya, perilaku pola pikir masyarakat desa masih mengandalkan ketergantungan sumber daya alam primer sebagai keberlanjutan kehidupan. Masyarakat desa belum sepenuhnya menyadari dan memahami betapa pentingnya orientasi berpikir pada upaya penciptaan nilai tambah (value added). Orientasi nilai tambah merupakan arah proses pembangunan desa yang menghasilkan penerimaan desa dari penggunaan sumber daya ekonomi. Dengan kata lain, masyarakat desa tidak menjual sumber daya secara bulat-bulat melainkan menjual hasil dari proses pembuahan pemanfaatan sumber daya ekonomi desa sebagai input (masukan) dan hasil produksi sebagai output (keluaran).

Untuk keperluan orientasi nilai tambah, unsur-unsur kepemimpinan desa seyogianya mendesain perencanaan pembangunan desa berbasis pada sumber daya alam desa, sumber daya manusia dan perencanaan pembiayaan desa yang berkelanjutan. Sumber daya desa terdiri dari sumber yang nyata (tangibles) dan yang tidak nyata (intangibles). Perencanaan pembangunan desa yang berbasis pada sumber daya desa hendaknya memiliki tujuan pembangunan jangka pendek (short-term objectives), jangka menengah (mid-term objectives) dan jangka panjang (long-term objectives). Namun disayangkan, perencanaan pembangunan desa cenderung memilih tujuan jangka pendek, pragmatis, dan instan. Pola perencanaan jenis ini akan meyuburkan kondisi desa yang terkooptasi oleh sistem pasar yang sebenarnya jauh dari ruh pedesaan yang bersandar pada pola kolektivitas-kolegialisme. Keadaan tersebut berimplikasi pada kerapuhan idealisme dalam jati diri sebuah desa dalam menghadapi intrik-intrik konsumerisme dan kapitalisme yang merugikan.

Dalam rangka menghindari kerapuhan idealisme jati diri desa dan mengarahkan proses kemandirian desa, diperlukan langkah-langkah strategis sebagai berikut, (1) Menyamakan visi dan persepsi warga desa dalam mewujudkan kemandirian desa, (2) Memandang proses pembangunan desa dari sisi outward looking oriented (perspektif adapatasi atas perubahan diluar) bukan inward looking oriented (hanya melihat dinamika didalam), (3) Menjalin kerjasama regional dan spasial dalam bentuk pola yang saling mendukung dan membesarkan, (4) Menata organisasi pemerintahan desa untuk merealisasikan visi jangka panjang, (5) Memperkuat institusionalisasi desa dengan cara meninternalisasikan nilai-nilai dan norma-norma, (6) Membangun komitmen warga untuk menjadi anggota koperasi serba usaha terutama dalam memfasiltasi pemenuhan kebutuhan bahan pokok, (7) Mendirikan lembaga microfinance yang memfasilitasi kebutuhan modal usaha mikro, (8) Membangun jaringan informasi dan telekomunikasi yang berafiliasi dengan operator telekomunikasi, (9) Mendirikan lembaga micro-education yang memfasilitasi proses pembentukan skill competence warga desa, (10) Mengembangkan kewirausahaan (entrepreneurship) pedesaan.

Kewirausahaan desa
Sepuluh langkah strategis diatas, akan lebih lengkap dengan kehadiran para wirausaha (entrepreneurs) desa. Kebutuhan pokok warga desa dapat disediakan oleh wirausaha yang umumnya bergerak di sektor usaha mikro, kecil dan menegah (UMKM). Apabila distribusi UMKM dapat berlangsung luas dan mendalam serta bertumbuh dan berkembang maka sangat besar berpotensi menggerakkan pertumbuhan wilayah desa dengan penciptaan kesempatan kerja yang bertambah. Dengan begitu, perubahan ekonomi desa secara agregasi akan mendorong tercapainya quality of life yang meningkat.

Pengembangan kewirausahaan desa memerlukan dukungan semua pihak (stakeholders). Salah satunya dengan melakukan institusionalisasi kewirausahaan di semua kelembagaan desa. Institusionalisasi kewirausahaan desa dimaksudkan agar terjadi pengembangbiakan (regenerating) dan menemukan kembali (reinventing) posisi desa sebagai wilayah produsen sekaligus pasar. Sasaran pengembangan kewirausahaan desa akan membawa pengaruh besar dalam pembangunan ekonomi desa terutama untuk menciptakan funding supporting (dukungan pendanaan) bagi proses pembangunan desa dalam jangka panjang.

Namun demikian, desa masih memerlukan suatu regulasi yang memayungi setiap kebijakan kepemimpinan desa. Hal tersebut penting, mengingat desa adalah bagian integral dari satu kesatuan administrasi negara. Artinya desa akan lebih lentur dalam mengambil setiap kebijakan desa terutama dalam membangun potensi kekuatan ekonomi desa yang mandiri.

Pembangunan kemandirian desa masih memerlukan campur tangan pemerintah terutama dalam kejelasan keterkaitan hirarki atas pemisahan dan arsiran kebijakan antara pemerintah diatas desa dan kebijakan kepemimpinan desa. Oleh karena itu, pemerintah perlu segera menerbitkan Undang-Undang (UU) tentang Desa, sehingga permasalahan yang dihadapi desa tidak terakumulasi menjadi keputusan ambivalensi yang kontra produktif. Sudah tentu, UU Desa yang diharapkan adalah undang-undang yang menjadi acuan normatif yang bersifat general. Sebab karakteristik desa beragam, yakni desa administratif, desa adat, desa yang bukan administratif dan adat.

Sementara itu, dari segi pelaksanaan teknis, pemerintah propinsi (pemprop) dan pemerintah kabupaten (pemkab) dapat memformulasikan suatu peraturan daerah (Perda) yang lebih menekankan pada proses pelaksanaan tugas-tugas kepemimpinan desa yang berorientasi pada kemandirian pembangunan desa. Pada akhirnya, kemandirian desa yang tercipta akan memberi peluang yang lebih luas dan dalam bagi pemprop dan pemkab untuk memfokuskan kebijakan pada isu-isu pembangunan daerah lainnya, seperti kualitas bidang pendidikan, kesehatan, dan pemerataan pembangunan daerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar